Langit Biru

dan Pentingnya Menggunakan BBM Ramah Lingkungan

Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah sangat lekat dalam kehidupan saya. Di sanalah saya dibesarkan. Di sana pula saya mengalami berbagai kisah suka dan duka. Berbagai hal yang saya alami tak menyurutkan kecintaan saya padanya. Pada 2015 lalu, warga Jambi mengalami ujian berupa kabut asap. Semua terkena dampaknya. Tidak terkecuali keluarga saya.

Sudah sebulan lebih tidak ada jadwal penerbangan di bandara Sultan Thaha Syaifuddin Jambi. Penyebabnya karena kabut asap yang pekat sehingga menghalangi jarak pandang. Sudah dua bulan lebih sekolah pun diliburkan. 

Saat itu saya dan keluarga terpisah. Saya sudah ke Banten untuk kerja. Sudah 2 bulan saya tidak bertemu keluarga. Sudah kangen sekali rasanya. 

Maka, saat ada kabar akan ada penerbangan, kami pun senang sekali karena bisa bertemu kembali. Istri dan anak saya sudah berada di bandara Sultan Thaha Sayifuddin Jambi. Mereka sudah memegang boarding pass. Ternyata, lima menit di sana, ada pengumuman penerbangan batal. Cuaca kembali memburuk. Penerbangan pasih tidak memungkinkan. Istri dan anak saya yang sudah chek-in tadi pun keluar bandara lagi.

Kuatir kalau lebih lama di Jambi akan mempengaruhi kesehatan, keluarga menyuruh isteri dan anak saya naik bus saja dari Jambi ke Banten. Perjalanan akan ditempuh sekitar sehari semalam.

Baru berjalan setengah jam, bus mengalami kecelakaan. Karena jarak pandang terbatas, bus tidak melihat truk yang berhenti di pinggir jalan. Bus menabrak truk itu. Bagian depan bus ringsek. Meskipun tidak ada korban jiwa, para penumpangnya shock dan trauma. Para penumpang pun berganti bus.

Itulah tragedy yang dialami keluarga saya pada 2015. Akibat kebakaran hutan yang melanda Riau dan Pekan Baru wilayah Jambi dilanda kabut asap. Itulah kisah pencemaran udara yang sempat ramai dulu.

Saat ini, Jambi memang tak sedang ada pencemaran udara akibat kabut asap. Tapi bukan berarti bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah sudah bebas dari ancaman pencemaran udara. Ada ancaman yang tak kalah besar menanti di depan. Sebetulnya bukan hanya melanda Jambi saja tapi semua daerah di Indonesia. Ancaman itu adalah pencemaran udara akibat gas buang sarana transportasi baik itu sepeda motor, mobil, truk, dan lainnya.

Sebagai anak pedalaman, saya merasakan betul perubahan lingkungan di Jambi. Keluarga saya ikut program transmigrasi tahun 1975. Saat itu rumah-rumah masih sangat jarang. Jarak satu rumah ke rumah bisa ratusan meter. Satu hektare tanah ada satu rumah saja. Hutan-hutan masih banyak. Begitu pun pohon-pohon. Masih banyak binatang-binatang di dekat rumah. Bahkan binatang buas atau hama seperti babi hutan sekalipun. Masih ada. Sungai dan rawa masih banyak. Lubuk dan rasau juga dengan mudah dijumpai.

Hanya segelintir orang yang punya motor. Hanya orang yang terpandang saja. Dalam satu dusun bisa 2 atau 3 orang saja yang punya motor. Dalam satu kelurahan bisa dihitung dengan jari orang yang punya mobil. Ada dua atau tiga angkutan rute ke ibukota kabupaten Bangko. Angkutan ini berangkat pagi dan pulang sore harinya.

Lalu, bagaimana dengan sekarang?

Jambi sekarang sudah berubah. Jambi semakin bersolek, semakin molek. Perubahan itu juga terjadi di dusun terpencil kami. Sungai semakin dangkal. Rawa sudah banyak yang hilang. Lubuk dan rasau selalu keruh airnya. Rumah-rumah semakin rapat. Satu lokasi bisa diisi dua atau tiga rumah. Setiap rumah punya motor bahkan ada satu rumah punya 4 motor padahal penghuninya 3 orang. Sudah banyak orang punya kendaraan roda empat. Bahkan satu rumah bisa punya 2 atau 3 mobil. Truk-truk semakin banyak.

Di satu sisi perubahan ini membawa kemajuan bagi kami. Akses ke kota atau ke daerah-daerah manapun semakin lancar. Orang dengan mudah bepergian ke mana pun. Tansportasi semakin maju dan mobilitas masyarakat makin lancar. 

Tapi di sisi lain terjadi perubahan lingkungan. Udara semakin panas dan gersang. Bisa jadi karena hutan semakin habis atau karena banyaknya kendaraan juga. Tentu saja. Sebab semakin banyak kendaraan, akan semakin besar pula pencemaran udara.

Dulu memang tidak banyak yang menyadarinya bahwa asap kendaraan ini bisa membuat pencemaran udara.

Padahal, daerah Jambi memiliki tantangan yang besar oleh ancaman memburuknya kualitas udara. Mengapa demikian?

 

Sebagian daerah Jambi merupakan jalur lintas Sumatera menuju Padang, Riau, Bengkulu, Medan dan Aceh. Di jalur itu pasti banyak kendaraan berukuran kecil maupun besar dalam volume yang besar. Banyaknya kendaraan melintas sebanding dengan pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan.

Selain itu, beberapa daerah Jambi masih intens mobilitas truk-truk pengangkut batubara. Kendaraan itu bukan hanya berpotensi merusak jalan provinsi tetapi juga mengakibatkan pencemaran udara yang lebih besar. Truk pengangkut batubara itu kan menggunakan bahan bakar solar. Saya beberapa kali berada di belakang truk-truk itu. Melihat asapnya yang hitam pekat saja sudah bergidik ngeri. Pastilah asap hitam pekat itu penyumbang pencemaran udara yang berbahaya pula.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan KBR mengadakan Diskusi Publik Penggunaan BBM Ramah Lingkungan 25 Maret 2021 dengan tema Penggunaan BBM Ramah Lingkungan Guna Mewujudkan Program Langit Biru. Dari webinar itu kita tahu bahwa penggunaan BBM ramah lingkungan tidak mudah. Padahal program ini sangat penting sekali.

Pengen Hemat tapi Malah Boros

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menegaskan tentang dampak penggunaan bahan bakar bermutu rendah. “Kalau mobil tidak menggunakan BBM sesuai jenis mesinnya, akan ada knocking. Jika ini terjadi, pabrikan mobil biasanya tidak mau menanggung garansi lagi.”

Jadi, penggunaan BBM bukan hanya urusan mobil saja. Implikasinya luas. Penggunaan BBM berkualitas rendah menyebabkan berkontribusi pencemaran udara. Biaya ekonomi-sosial pencemaran udara jauh lebih mahal daripada penghematan yang diraih individu dengan menggunakan BBM berkualitas jauh lebih rendah.

Tidak dimungkiri kebijakan pengurangan atau penghapusan BBM berkualitas rendah dipengaruhi kebijakan pemerintah. Jadi, perlu ada keseriusan pemerintah tegas untuk mengurangi atau bahkan menghapus distribusi BBM ini. Nah, sebetulnya negara kita sudah mengarah ke sana.

Perpres No 191 tahun 2014 mengatakan bahwa premium akan ditiadakan, tertentu, dan diawasi. Bahkan di 2015, premium tidak didistribusikan lagi di Jawa dan Bali. Tetapi di 2019 Perpres ini diganti kembali diubah, akhirnya Jawa dan Bali didistribusikan kembali.

Premium memiliki Research Octane Number (RON) 88. Padahal, BBM standar dipasaran harus sudah ber-RON 90. Semakin tinggi nilai oktannya, semakin sedikit residu pada mesin. Sehingga, kendaraan yang masih menggunakan premium lebih rawan mengalami kerusakan mesin karena pembakaran yang tidak sempurna pada mesinnya.

Apalagi untuk kendaraan dengan kompresi mesin yang tinggi, maka wajib hukumnya menggunakan BBM dengan nilai oktan tinggi. Setiap pabrikan mobil mengeluarkan produk dengan nilai minimum RON.

Saat ini mobil-mobil sudah menggunakan kompresi tinggi. Jadi kalau memilih BBM lebih rendah dari standar yang ditentukan akan menimbulkan residu pada mesin karena pembakaran yang tidak sempurna. Akibatnya, mesin akan cepat rusak. Pengennya menghemat BBM tapi malah membuat rusak mesin.

Emisi kendaraan bermotor mengandung gas karbonmonoksida (CO), nitrogen oksida (N)x), hidrokarbon (HC), dan partikulat lain (particulatte matter/PM) yang bisa berdampak negatif bagi jika melebihi ambang konsentrasi tertentu. 

Pasar negara ASEAN rata-rata sudah menerapkan Euro 4. Sementara, di Indonesia, penerapan standar Emisi Euro 4 Indonesia masih sedikit sekali. Bahkan secara nasional diundur ke April 2022 lantaran pandemi.

BBM Tidak Ramah Lingkungan Membuat Rugi

Di bidang Otomotif dan Industri

Dalam webinar itu, Direktur Pengendalian Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dasrul Chaniago mengatakan bahwa penggunaan bahan bakar tidak ramah lingkungan bisa berdampak pada dunia otomotif.

“Kalau kita bertahan di Uero 2, otomotif kita tidak akan berkembang. Negara lain sudah Euro 6” katanya.

Industri minyak pun akan kesulitan jika otomatif mati. Negara kita akan sulit mengekspor otomotif juga, lho. Kenapa? 

Negara lain sudah tidak membutuhkan otomotif berteknologi rendah. Sebab tidak ada lagi spare part yang sesuai dengan otomotif tersebut.

Karena banyak kendaraan yang tak lagi tersedia spare part-nya. Jadi kita tidak bisa bertahan dengan teknologi rendah saja.

Jadi jelas bahwa penggunaan bahan bakar tidak ramah lingkungan bukan hanya berdampak pada kerusakan lingkungan berupa pencemaran udara tetapi juga berdampak pada dunia otomotif dan industri minyak.

Program Langit Biru, Sebentuk Kepedulian
Menjaga Bumi Kita

 

Pada 6 Agustus 1996, Pemerintah Indonesia melalui kementerian Lingkungan Hidup telah membuat program Langit Biru. Tujuannya untuk mengurangi dan mengendalikan pencemaran udara. Jadi program Langit Biru ini sudah berumur 25 tahun. Sudah lama banget ya. Tapi bagaimana efektivitasnya? Apakah sudah berdampak pada masyarakat?

Mungkin banyak yang tidak tahu. Hal ini pun diakui oleh Kristo Embu, pimpinan redaksi Timor Ekspres Kupang bahwa masyarakat banyak yang tidak tahu dan tidak sadar dengan program. “Agar masyarakat lebih banyak yang tahu butuh proses lewat sosialisasi dan edukasi oleh stakeholder yang bertanggungjawab termasuk media,” katanya.

Faktor apa yang paling mempengaruhi kesadaran adalah kebiasaan. Kalau dipaksa atau dibiasakan maka mereka akan menerima. Makanya, program Langit Biru ini harus kita pahami dan aplikasikan serta digencarkan agar semakin banyak masyarakat yang tahu dan melakukan.

Memang sih Langit Biru ini masih perlu dikenalkan kepada masyarakat luas karena masih banyak yang belum ngeh dengan program keren ini. Diakui juga oleh Tommy Kaganangan yang diundang dalam webinar tersebut bahwa dia juga baru aja tahu tentang Langit Biru.

“Pernah denger tapi tidak tahu lebih. Program ini bagus banget karena mengurangi premium. Di Kalimantan Selatan pun masih banyak pelangsir-pelangsir premium.” Tommy juga bilang kalau premium bagusnya dikhususkan untuk angkutan umum tapi jangan untuk kendaraan pribadi.

 

Dimulai Dari Keluarga

untuk Sukseskan Program Langit Biru

 

Motor saya nggak bagus-bagus amat sih. Tapi dengan kesadaran menyayangi motor dan mendukung kesuksesan program Langit Biru, motor berplat daerah Jambi ini sudah lama tak menggunakan premium. Minimal pertalite. Biasanya ‘dikasih minum’ Pertamax.

Sambil berangkat kerja saya sempatkan ke SPBU yang tak pernah alpa menyediakan pertalite dan pertamax. Untuk kendaraan sendiri memang tidak ada kendala.

Yang nggak gampang itu ngajak saudara dan masyarakat sekitar. Tapi, prioritas keluarga sendiri saja dulu. Kalau lingkaran keluarga ini semakin membesar saya yakin masyarakat pun akan ikut melakukannya.

Saya dan motor yang setia menemani ke manapun saya kerja. Sebagai ganti, saya memberikan ‘minum’ terbaik untuknya

Program Langit Biru harus gencar dari hulu ke hilir. Seberapa besar iktikad pemerintah harus dibarengi kesadaran masyarakat. Program Langit Biru ini harus terus dimassifkan. Mungkin para petinggi lembaga negara kita sudah tahu dengan program ini. Bisa jadi karena regulasi pemerintah misalnya kendaraan-kendaraan dinas yang harus menggunakan pertalite atau pertamax.

Saya mengapresiasi gebrakan seperti webinar-webinar yang diadakan KBR bersama YLKI dan instansi terkait. Ke depan, pelibatan milenial harus ditingkatkan. Bisa juga dengan mengadakan lomba-lomba untuk milenial dengan melibatkan sosial media seperti facebook, twitter, hingga tik-tok. Saya rasa ini efektif sebab milenial lebih sering melek media sosial.

Mewariskan Bumi

untuk Generasi Mendatang

 

Berbagai dampai pencemaran lingkungan pasti sudah kita rasakan. Termasuk pencemaran udara juga sudah kita rasakan. Saya yang berdomisili di kampung nun pelosok saja sudah merasakannya. Apalagi mereka yang ada di kota bahkan kota besar.

Oh iya, kampung saya bernama Desa Lantak Seribu. Banyak orang berseloroh kalau kampung kami bahkan tak ada di peta. Hehe… Lokasi lengkapnya Dusun Ringin Anom, Desa Lantak Seribu, Kecamatan Renah Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Sebenarnya desa saya tak jauh dari jalur Lintas Sumatera. Sekitar setengah jam perjalanan kalau akses jalan lancar dan mulus. Tapi karena akses jalannya rusak dan sulit, perjalanan tadi semakin lama. 

Jika saya yang berada di desa sudah mengkhawatirkan hal ini, tentulah daerah di perkotaan seperti di Bangko (ibukota kabupaten Merangin) maupun Jambi (ibukota provinsi Jambi) tentu harus lebih waspada. Meskipun, menurut Dr. Ardi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi, secara umum  kualitas udara Kota Jambi masih baik dalam kategori Indeks Standar Pencemaran Udara bukan berarti kita merasa aman-aman saja.

Selama pandemi ini, mungkin banyak dari kita yang menyadari bahwa langit kita semakin bersih, jika dibanding sebelum pandemi. Kondisi ini tidak lain karena semakin berkurannya aktivitas manusia di luar rumah. Ya, untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19 kita dianjurkan mengurangi aktivitas di luar. Orang pun semakin sedikit bepergian menggunakan kendaraan. Polusi udara pun semakin berkurang. Hasilnya, langit kita semakin biru.

Nah, semoga pandemi ini menjadi momentum menguatkan kesadaran kita bahwa semakin berkurang polusi udara, semakin bagus langit kita, semakin bagus kualitas udara kita.

Marilah kita pahami bahwa usaha menjaga lingkungan bukan semata-mata untuk kita yang saja. Tapi untuk generasi mendatang. Kita yakin bahwa pencemaran udara banyak disebabkan emisi gas buang dari kendaraan ini sangat berbahaya bagi kesehatan. Berbagai penyakit pernapasan bisa timbul dari polusi udara termasuk dari kendaraan. Bahkan timbal yang dihasilkan dari emisi buang dapat mengurangi kecerdasan.

Kita tidak selamanya hidup di bumi ini. Lalu, apa yang hendak kita wariskan pada generasi mendatang? Apakah bumi yang semakin panas dan semakin rusak? Atau bumi yang semakin membaik dan aman ditinggali?

Kita berharap generasi mendatang akan semakin berkualitas. Badannya sehat, otaknya pintar. Mari kita jaga bumi dengan mengurangi aktivitas yang dapat merusak lingkungan. Mari gunakan BBM yang ramah lingkungan agar polusi udara bisa dikurangi atau dihindarkan. Ayo kita rawat lingkungan kita agar kelak generasi muda masih bisa mendiami bumi dengan aman dan nyaman. (*)