Berhenti merokok memang tidak mudah, Tapi pasti bisa!. Ada 1001 cara  untuk berhenti merokok. Tilik yuk  strateginya. 

Saat rapat RT di perumahan, saya iseng bertanya ke seorang warga. “Kalau rokok ini sekarang harga berapa, Pak?” “Ini 32 ribu” jawabnya. Eh buset, kata saya dalam hati. Bener-bener terkejut dengan harga yang disebutkan. Tinggi juga naiknya harga rokok yang sudah 13 tahun lebih saya tak beli. Padahal terakhir beli dulu masih harga Rp 9000. Gila!. Sudah Rp. 24.000 aja naiknya. Beli pake uang itu? Ya iyalah. Masak pakai daun?!  

Sebentar. Anda tak salah baca, kalau saya katakan tadi ‘terakhir beli’. Ya. Saya memang mantan perokok. Sudah biasa saya merokok sehari-hari. Sama seperti kebanyakan perokok lainnya,  awal merokok saya karena coba-coba. Lihat teman merokok lalu ditawari. Kemudian saya coba hisap satu dua kali eh keterusan. 

Sampai saya kemudian terbiasa dengan rokok. Bahkan rokok high class bagi anakmuda. Termasuk terakir merokok itu pun rkok yang terbilang mahal harganya.

Kapansaya merokok? Sejak usia SMP kelas 1. Nyuri-nyuri pas pulang sekolah di jalan atau di rumah teman. Ngumpul bareng lalu keluarin rokok dan ngerokok bareng. Rokoknya dibeli patungan. Jadi kami nyumbang atau ngumpulin uang buat beli rokok.

Kadang joinan atau satu rokok dihisap bareng-bareng kalau pas sedang nggak bisa beli rokok. Awalnya saya merokok di tempat-tempat yang jauh dari rumah. Biar nggak ketahuan orangtua. Tapi makin ke sini saya berani merokok di rumah tetangga. Saya selalu hati-hati biar nggak ketahuan oleh orangtua.

Tapi apesnya, ada tetangga yang melaporkan ke orangtua. Akhirnya saya dimarah habis-habisan. Padahal bapak saya merokok. Orangtua yang merokok pun nggak mau anaknya merokok. Aneh ya.

Dimarahi nggak membuat saya kapok. Saya masih merokok di usia SMP sampai SMA. Di SMA saya malah menjadi-jadi. Kenapa? Karena SMA saya nge-kos. Ya, SMA saya agak jauh dari kampung. Makanya saya kos biar nggak telat di jalan karena akses jalannya pun lumayan susah.

Karena jauh dari orangtua itulah saya hampir tiap hari merokok. Begitu juga temen-temen kos saya.  Merasa bebas dan tidak diawasi. Yakin nggak bakal ketahuan orangtua. Makin bebas pula merokok. Sampai akhirnya kebawa hingga lulus SMA dan saya kuliah di provinsi lain.

Domisili saya di Jambi. SD hingga SMA di sana. Tapi kuliah di Padang, Sumatera Barat. Makin jauh dari orangtua, makin bebas pula buat merokok.

Saya pun merasa mulut kecut kalau nggak merokok habis makan. Ya, betul. Di kalangan perokok pasti sudah familiar ungkapan ‘habis makan nggak merokok itu kayak berak (maaf) nggak cebok.” Bisa melakukan berbagai gaya merokok seperti membuat bulatan huruf O dari asap rokok.

Juli 2006 lalu saya merupakan mahasiswa baru. Kalau itu dukungan orangtua sangat besar. Mereka menaruh harapan agar anaknya jadi sarjana lalu bisa mengangkat derajat keluarga. Maksud jelasnya adalah agar saya dapat kerja yang lebih baik dari orang tua yang hanya seorang petani sawit.

Keluarga kami memang mengandalkan pemasukan dari sawit. Namun, harga sawit itu tidak stabil. Kadang naik, tapi sering juga turun. Emang sih, kalau sedang naik, sangat lumayan. Tapi kalau sedang turun, seakan tak ada harganya.

Itulah yang terjadi pada 2006 lalu. Harga sawit kok semakin turun semakin lemah. Naiknya sedikit eh turunnya anjlok. Ditunggu dan ditunggu kok semakin turun saja harganya. Harga sawit saat itu sampai titik terendah dalam sejarah. Dari Rp. 1.100 per kg menjadi Rp. 400 per kg. Pemasukan pun berkurang dari rata-rata Rp. 3-4 juta per bulan menjadi Rp.1.200.000 – Rp. 1.500.000 per bulan. Bahkan bisa tidak gajian.

Kenapa tidak gajian. Saat itu musim penghujan. Truk susah masuk ke perkebunan. Selain itu, biaya armada atau transportasi mengambil sawit ke kebun dan mengantar ke pabrik lebih besar dari nilai sawit itu. Sawit benar-benar tidak ada harganya. Banyak buah yang habis di panen tergeletak di TPH (tempat penimbangan hasil). Busuk di sana. Atau sampai jadi berondol karena tidak dipanen. Dibiarkan sampai masak di pohon. 

Tadinya kami yakin kondisi ini segera berlalu. Harga sawit bisa membaik dan naik. Eh ternyata sampai beberapa bulan ke depan. Nah, petani yang hanya mengandalkan dari sawit akhirnya pailit. Usaha-usaha tak untung malah buntung. Apalagi yang punya kreditan motor, mobil, atau cicilan di bank makin kelimpungan. Ekonomi petani pun terguncang. Hal ini terjadi juga di keluarga saya. Beberapa bulan bertahan akhirnya limbung juga.

Keluarga saya mengandalkan satu kaplingan sawit yang menyokong kuliah saya dan kakak. Karena kakak perempuan, akhirnya tawaran untuk berhenti kuliah jatuh ke saya sebagai anak laki-laki.  Ya. Orangtua saya bertanya gimana kalau saya berhenti kuliah dulu. Setelah ekonomi stabil saya dijanjikan lanjut kuliah lagi.

Tentu saja tawaran orangtua membuat saya sedih dan terpukul. Bagaimana pun saya masih seneng-senengnya kuliah. Meskipun agak bandel tapi gini-gini juga saya menganggap sekolah atau menuntut ilmu sebagai hal yang wajib. Kudu.

Saya minta waktu untuk pikir-pikir dulu. Selang dua hari kemudian saya telpon orangtua dan bilang tetap akan lanjut kuliah. “Biar saya cari uang sendiri buat biaya kuliah. Mau nyari kerja sambil kuliah…” Lantas saya katakan juga banyak temen-temen yang juga kuliah sambil kerja. Nyambi jaga toko atau pekerjaan lainnya yang nggak terlalu mengganggu kuliah.

Untuk menegaskan tekad saya, saya bilang juga nggak usah ngirim ke rekening seperti biasanya. Karena rekening diblokir. (Waktu itu saya bohong). Tapi supaya saya benar-benar dalam kondisi kepepet lalu biar cari uang sendiri.

Setelah itu, saya masih tetap merokok. Tapi saya lalu berpikir. Tentu saja selain mencari pekerjaan saya juga harus menghemat pengeluaran. Selain mencari pemasukan saya harus mengurangi pengeluaran. Maka, Berhari-hari saya mikir untuk berhenti merokok.

Nggak langsung berhenti sih. Saya timbang-timbang untung rugi kalau berhenti merokok. Saya masih bimbang. Belum yakin benar akan bisa berhenti merokok. Merokok atau tidak. Lanjut merokok atau berhenti merokok.

Lalu sampai pada satu tekad bahwa saya harus berhenti merokok. Detik itu juga. Tanggal itu juga. Supaya jadi sejarah dan jadi pengingat, saya tandai dan ingat kapan saya berhenti merokok. 

Jadi saya mulai berhenti merokok yaitu pada 7 Januari 2007. Setelah itu, sampai hari ini, tidak satu hisap pun saya merokok.

Secara kebetulan, ada beberapa teman yang punya keinginan yang sama. Kami berlima ingin juga berhenti merokok. Lalu kami ngobrol bareng. Kesimpulannya kami akan berhenti merokok. Kami harus saling mengingatkan dan menguatkan agar kebiasaan merokok bisa dihentikan.

Kami pun kemudian mengalami seperti yang dialami para pecandu rokok lainnya yang mencoba berhenti merokok. Mulut terasa asem kalau sesudah makan nggak merokok. Rasanya aneh saat ngumpul bareng tapi nggak merokok. Muncul keinginan merokok lagi kalau lihat teman lain sedang asyik merokok.

Tapi karena sudah bertekad kuat kami pun sebisanya melawan keinginan untuk merokok lagi. Berhasil? Ada yang berhasil, tapi ada juga yang gagal.

Dari lima orang tadi akhirnya ada dua yang balik merokok. Mereka merasa gagal, mencoba lagi, dan gagal lagi. Walaupun gagal, dua orang ini mengaku sudah semakin berkurang merokoknya. Jadi seingat saya ada 3 yang lulus ujian tak merokok lagi. Nggak tahu kabarnya sekarang. Semoga mereka masih tak merokok.

Bagi saya tidak merokok lagi merupakan sebuah pencapaian yang hebat. Sebuah sejarah dalam hidup saya. Sebab memang bukan mudah untuk melakukannya.

Dengan menahan tidak merokok lagi saya akhirnya bisa menyelesaikan kuliah. Saya kuliah 10 semester. Seingat saya hanya pada semester 1 saja dibiayai atau dikasih uang sama orangtua. Selebihnya membayai sendiri. 

“Jadi selama 9 semester saya membiayai kuliah saya sendiri. Sampai ke biaya penelitian hingga wisuda.”

Supadilah

Mungkin banyak orang yang bisa membiayai kuliah sendiri. Saya bangga karena termasuk bagian dari mereka.

Bagaimana saya bisa membiayai sendiri kuliah? Saya kuliah sambil kerja. Kerja apa saja. Mulai dari jaga warung kelontong, toko buku, promosi lembaga bimbingan belajar, jualan nasi goreng, ngajar bimbel, dan ngajar privat. Selain itu saya dapat beasiswa dari kampus. Juga pernah menang lomba Program Kewirausahaan Mahasiswa (PKM) yang dari sana bisa membiayai kuliah dan makan sehari-hari. 

Dari pengalaman saya berjuang untuk berhenti merokok saya menyimpulkan banyak pengalaman berharga yang didapat.

Dari sepuluh orang rekan kerja yang saya survei, ada enam orang yang nyambi saat kuliah. Misalnya dengan mengajar privat, bimbel, atau pekerjaan musiman lainnya. Saat ada peluang, mereka ambil sebagai kesempatan nambah uang jajan.

Tapi, tidak satupun yang membiayai kuliah dan hidup selama kuliahnya. Tidak pernah. Jadi saya bisa ambil kesimpulan bahwa sangat langka yang bisa membiayai kuliahnya dan hidupnya selama kuliah.  Sebetulnya saya juga nggak lepas 100 persen dari orang tua. Ya itu tadi. Satu semester di awal kuliah masih dibiayai orang tua. Selebihnya tidak lagi. Berawal dari keterpaksaan itu saya bisa berhenti merokok.  

Padahal, logikanya saya sudah bisa cari uang sendiri. Saya berhak dong pakai uang hasil keringat sendiri buat beli rokok. Uang-uang saya sendiri. Tapi saya nggak mau. Saya nggak mau uang yang sudah susah-susah saya cari dengan memeras keringat, membanting tulang saya belikan benda yang hanya mubazir saja sifatnya. Rokok itu pos pengeluaran yang cukup besar. Pengeluaran untuk beli rokok malah lebih besar daripada untuk beli beras (Sesuai data BPS yang dikutip di kbr.id). 

Daripada untuk beli rokok mendingan untuk kebutuhan lain. Bahkan satu dua kali sempat menabung. Pernah saya dapat dua anak les privat. Bayarannya lumayan besar. Saking besarnya, dari satu anak saja bisa buat memenuhi kebutuhan bulanan saya. Sampai-sampai dari satu anak lainnya saya tabung. Lha kalau saya merokok, mana bisa nabung? Yang ada malah tekor. Tabungan itu bisa saya pakai untuk biaya KKN. Saat itu saya libur les privat karena ada KKN. Otomatis saya tidak punya pemasukan. Nah, tabungan tadi yang saya pakai untuk membiayai KKN.

Salah satu tantangan yang berat dari merokok itu adalah karena sudah menjadi rutinitas. Makanya, harus ada aktivitas alternatifnya. Pelan-pelan saya mengubah aktivitas main saya. Tidak langsung meninggalkan teman lama apalagi membencinya atau sampai menanggap mereka adalah teman yang buruk, tidak! Bagaimana mereka pernah singgah di kehidupan saya. Cielahh…. 

Saya lalu menceburkan dengan kesibukan kuliah, privat, atau nambah penghasilan dari sumber lain. Salah satunya mengikuti lomba. Saya sering mendatang papan pengumuman di kampus untuk mencari informasi lomba. Singkatnya, di tahun 2008 saya berhasil mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa yang aktif berwirausaha dan diberikan penghargaan sejumlah Rp. 23 juta. Tentu semakin membantu untuk membiayai hidup saya di rantau orang ini.  

Lalu di tahun yang sama ada lomba program kreativitas mahasiswa dari Kementerian pendidikan tinggi (Dikti). Saya masukkan proposal. Lolos di tingkat universitas. Meskipun tidak lolos ke nasional tapi dapat pengganti lelah yang sangat berlebih. Rupanya mencari alternatif kegiatan ini cukup efektif. Saya mendapatkan pengalaman berharga dan prestasi-prestasi yang cukup memuaskan.

“Kalau mas ngerokok, mungkin kita nggak nikah.” Tegas istri saya malam itu. “Sebentar, emang pas mau nikah dulu nanya ngerokok nggak gitu?” Saya udah lupa sih. Udah lama soalnya. Udah 7 tahun kami menikah. “Nggak inget juga, Mas. Tapi aku nggak mau dapat jodoh laki-laki merokok.” Lha kenapa?” kejar saya. 

“Laki-laki merokok itu pasti nggak sayang sama keluarganya. Lha dia nebar racun gitu. Nebar racun ke istrinya, anaknya, juga keluarganya.”

Ah, benar juga. Untungnya saya sudah tidak merokok pas mau melamar dia dulu. Bersyukur bisa menikah dengannya. Oh iya. Istri saya seorang dosen. Saat ini kami sudah punya dua anak. Jagoan semuanya. Semakin bersyukur saya udah nggak merokok. Jadinya kalau saya melarang atau bilang rokok tidak bagus saya sudah punya keteladanan. Hehe…  

Dengan keteladanan, tak susah untuk menyuruh atau memerintahkan. Nggak perlu banyak omong ini itu karena sudah mencontohkan. Saya yakin setiap orangtua perokok pun pasti tidak mau menginginkan anaknya jadi merokok.

Hm, namanya utang, seringkali tidak bisa dihindarkan. Kalau bisa, pasti setiap orang maunya tidak punya utang. Sebab Utang itu bikin hidup nggak tenang. Setiap habis gajian selalu dipotong buat bayar cicilan. Gaji jadi nggak utuh. Tidak sedikit keluarga yang bahkan minus pemasukan akibat utangnya lebih besar. Kalau sedang jatuh tempo, perasaan sudah nggak enak.  

Saya bersyukur keluarga saya bisa bebas dari utang. Memang kami sudah berkomitmen agar sebisa mungkin tidak berutang. Lalu, apakah bisa hidup tanpa utang?  

Jawabnya bisa. Saya berkeluarga sejak 2013. Hingga sekarang keluarga tidak berutang ke siapa pun. Tidak punya cicilan di mana pun. Kami cukup hidup sederhana. Memang sih tak punya mobil atau kendaraan mewah lainnya. Nggak punya cicilan rumah atau motor saja sudah cukup membuat bahagia. Hidup tak dikejar utang.  

Kalau nggak merokok, Pengeluaran bisa berkurang. Uangnya bisa untuk beli susu anak atau beli jajanan/makanan sehat yang membuat keluarga jadi sehat pula. Tak hanya itu, keluarga saya bisa membuka usaha kecil-kecilan. Pernah kami punya warung kecil-kecilan di rumah. Meskipun tak bertahan lama. Tapi sekarang punya gerai dan juga bisnis Frozen food. Mudah-mudahan sampai ke depannya keluarga saya bisa terus menjaga rekor ini. Ya, saya katakan rekor. Rekor tidak punya utang. Padahal, survey tersembunyi lewat ngobrol dengan teman-teman, 6 dari perokok semuanya punya utang.

Pasti banyak yang tahu kalau merokok itu merugikan kesehatan. Tapi bagi perokok, hal ini dibantah aja lho. Pasti mereka bisa membantah. “Lha aku merokok masih sehat-sehat aja. Nggak sakit-sakitan. Nggak pernah ke dokter.” Meskipun banyak juga atau malah tidak terhitung contoh kasus orang yang sakit karena bibit penyakit dari kandungan rokok yang mereka isap selama bertahun-tahun itu.

Menyadari sedemikian gawatnya pengaruh buruk dari merokok maka tidak ada keraguan lagi bagi para perokok untuk menghentikan rokok tegas rokok harus kita tinggalkan karena banyak menimbulkan kerugian baik dalam segi ekonomi maupun sosial budaya jangan mengikis karakter-karakter baik termasuk anak muda. Kalau udah mengalami sendiri baru tahu rasanya. Baru nggak bisa membantah.

Suatu hari saya dapat kabar teman SMP saya meninggal. Kami seumuran. Padahal dia kelihatan normal. Ternyata kemudian saya dapat informasi bahwa dia punya penyakit jantung. Dia merupakan perokok aktif sejak kecilnya. Bisa jadi organ dalamnya telah rusak karena bertahun-tahun memasukkan racun ke dalam tubuhnya. Hal ini semakin membuat saya bersyukur dengan keputusan saya berhenti merokok. Lepas dari merokok membuat saya terjaga sehat. Masih kuat olahraga keras seperti main futsal, badminton, atau sepakbola lapangan besar. Dan sudah belasan tahun juga tidak punya sakit yang mengkhawatirkan.

Ada ada semacam tanggung jawab untuk menyadarkan kepada banyak orang tentang bahaya merokok. Lebih-lebih kepada anak muda. Terutama siswa. Saya seorang guru. Ada tanggungjawab penting untuk mengedukasi bahaya rokok.

Suatu hari saat saya mampir di sebuah warung. Saat itu sekitar pukul 7. Masih pagi. Ada 4 anak sekolah yang sedang merokok. Masih pakai seragam sekolah pula. Tadinya mau saya tegur. Saya tanya mereka, “Sekolah di mana, Dek?”. Mereka tak menjawab. Malah senyjm-senyum. Lalu saya tanya lagi, “Sekolahnya di mana, dek?”. Mereka masih tidak menjawab tapi sudah salah tingkah. Lalu ada yang menuju ke motornya. Saya bilang, “Masih sekolah kalau bisa jangan merokok ya,” dengan nada baik baik-baik ngomongnya. Mereka tidak menjawab dan langsung kabur dengan motornya.

Indonesia membeli rokok itu sangat mudah. Harganya sangat murah. Harga rokok sebanding dengan air minum gelas. (Pada Talk Show Ruang Publik KBR)

Nurul Nadia Luntungan

Peneliti CISDI

Di lain waktu saat saya berbelanja di warung waralaba. ada dua orang anak usia SMP yang malu-malu masuk. Satu orang sudah masuk, satu temannya belum masuk. Yang sudah masuk ngasih kode ke temannya buat masuk. Minta ditemenin. Lalu dengan malu-malu dikeluarkannya segepok uang. Tapi bukan uang kertas. Melainkan uang recehan. Jangan-jangan tabungan mereka. Hehe.. Kemudian dia menyebut merk sebuah rokok. Setelah rokok didapat, mereka bergegas keluar.

Lihatlah. Generasi muda telah menjadi korban dari pengaruh buruk rokok ini–termasuk saya dulu. Mereka mungkin saat ini baru coba-coba atau ikut-ikutan teman. Tapi yakinlah kalau tidak ada kepedulian kita untuk mencegah dan menghindarkan mereka dari rokok bukan tidak mungkin mereka akan menjadi pecandu.

Perlu diketahui, remaja Indonesia yang merokok merupakan tertinggi di ASEAN.

80 % perokok berada di negara ekonomi rendah-menengah.                  

Nurul Nadia Luntungan

Peneliti CISD

Bahkan jika mereka berasal dari keluarga ekonomi bawah sekalipun. Seperti yang saya ceritakan di atas, kalau sudah kecanduan mereka akan beli dengan segala cara. Entah itu patungan, membobol tabungan, atau mencuri sekalipun. Maka, tegas aja berhenti merokok. Ada 1001 cara berhenti merokok. 

Sering, perokok memang tak mengenal rasionalitas. Misalnya ya di tengah pandemi begini, harusnya daripada buat beli rokok, uangnya mendingan buat kebutuhan pokok. Lha tapi anehnya justru pada masa pandemi begini jumlah perokok naik 13 persen, lho. Edan! Data ini disampaikan pada talk show Ruang Publik KBR dengan tema Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok.

Miris memang jika kemudian ada seorang bapak yang lebih mementingkan beli rokok ketimbang beli beras. Prihatin pada orang yang dapat BLT eh malah beli rokok. Sementara anaknya ngiler beli susu atau pengen makanan sehat dan enak lainnya.

Manfaatkan komunitas untuk berhenti merokok. Ya, komunitas juga efektif mendukung untuk berhenti merokok. Seperti Kampung Tanpa Rokok Cililitan pimpinan Pak Nur Kasim sebagai ketua RT layak jadi contoh. Dengan koordinasi dan kompromi para warga akhirnya mereka bisa membuat kawasan tanpa asap rokok. Ibu-ibu bisa jadi inisiator untuk mencegah suaminya atau anaknya dari merokok.

Rokok memang menjadi masalah bagi banyak orang. Bahkan bagi si perokok sendiri. Saya yakin betul kalau si perokok sebetulnya tahu kalau merokok itu kebiasaan yang tidak bagus. Tahu kalau rokok itu merusak kesehatan, membuat pengeluaran semakin besar, atau meracuni orang-orang di sekitarnya. Baik itu tetangga, saudara, bahkan keluarga terdekatnya.  

Lha, trus kenapa mereka tidak juga berhenti merokok? Biasanya alasan utama karena mereka sudah KECANDUAN. Bukannya mereka nggak tau cara berhenti. Pasti tahu. Baik dari cerita orang yang sudah bisa menghentikan kebiasaan. Atau kalau mau searching di internet, kanal YouTube, atau dari sumber lainnya.  

Hmm, kecanduan emang bukan perkara mudah. Membiasakan yang belum biasa itu sulit. Dan menghentikan yang sudah jadi kebiasaan juga tidak kalah sulitnya. Mbak Nurul pun mengatakan bahwa berhenti merokok pun tidak mudah. Godaannya besar. Untuk berhenti merokok ada tahapan-tahapannya. Mengapa harus berhenti merokok, apa yang akan mereka alami jika berusaha berhenti merokok, dan bagaimana mereka mengatasi kesulitan-kesulitan dari lepas merokok.

Tapi kalau ada yang bilang nggak bisa berhenti dari merokok karena sudah kecanduan, SAYA TIDAK SEPAKAT. Lha buktinya saya sudah bisa berhenti dari rokok. Juga banyak orang yang bisa berhenti dari rokok, lho.

Saya sepakat dengan Pak M. Nur Kasim bahwa merokok telah mendarah daging. “Makanya berproses atau bertahap untuk mengubahnya” kata beliau saat talk show di acara Ruang Publik KBR.

Supaya lebih terasa perjuangannya, jadikan  peristiwa tersebut sebagai peristiwa bersejarah. Catat dan ingat supaya menjadi pengingat diri agar terus komitmen dengan tekad itu. Bisa pula dengan cerita ke orang terdekat agar dia bisa membantu mengingatkan. Bisa teman, keluarga, atau pasangan hidup. Semoga berhasil.

“Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini